Multazam Karim (warga Pinrang)
Dinamika demokrasi lokal di Kabupaten Pinrang stagnan. Salah satu indikatornya adalah lemahnya fungsi kontrol dari partai politik, khususnya yang berposisi sebagai oposisi di DPRD Pinrang.
Kritik terhadap kebijakan-kebijakan Pemkab Pinrang yang dipimpin Irwan Hamid-Sudirman Bungi nyaris tidak terdengar: sunyi. Atau justru kita bisa menduga partai politik di Pinrang tidak lagi mengerti atau tidak sanggup memilih jalan oposisi.
Setidaknya ada dua indikasi saat suara oposisi nyaris tidak terdengar. Pertama parpol di Pinrang tidak sanggup memilih jalan oposisi karena kehilangan kekuasaan dan yang kedua parpol di Pinrang memang kurang pendidikan politik sehingga kajian terhadap kebijakan Pemkab tidak dipahami untuk kemudian bisa dikritisi.
Salah satu contoh yang menjadi sorotan publik adalah kebijakan mutasi sejumlah kepala sekolah menjadi guru biasa, tanpa kejelasan kriteria evaluasi kinerja atau transparansi proses yang menyertainya.
Kebijakan yang menyentuh sektor pendidikan ini seharusnya menjadi perhatian serius DPRD, karena menyangkut masa depan layanan publik dan profesionalitas tenaga pendidik.
Namun hingga kini, belum ada inisiatif dari DPRD—baik melalui rapat dengar pendapat, interpelasi, maupun pernyataan sikap—yang mempertanyakan dasar dari kebijakan tersebut. Terlebih, partai-partai yang sebelumnya menyatakan diri sebagai oposisi nyaris tak bersuara.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik: di mana suara oposisi ketika kebijakan publik justru memicu keresahan di kalangan ASN dan masyarakat?
Selain isu pendidikan, perhatian terhadap pengelolaan aset milik daerah juga minim sorotan. Sejumlah aset Pemkab Pinrang yang terbengkalai, seperti pasar-pasar tradisional yang tidak berfungsi optimal, bangunan tak terurus, seolah luput dari perhatian wakil rakyat.
Padahal, keberadaan aset ini sangat potensial untuk menggerakkan ekonomi lokal dan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Namun sayangnya, nyaris tidak ada anggota DPRD yang vokal mengangkat persoalan ini ke publik, baik melalui media massa maupun forum resmi legislatif.
Diamnya DPRD terhadap aset-aset terbengkalai ini memperkuat kesan bahwa pengawasan terhadap tata kelola keuangan dan kekayaan di Bumi Lasinrang lemah. Ketika pasar-pasar dibiarkan mangkrak dan pembangunan stagnan, rakyat patut bertanya: siapa yang seharusnya bicara lantang untuk kepentingan mereka?
Hal lain yang tak kalah penting adalah kinerja dua Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yakni PD Karya dan PDAM Tirta Sawitto, yang hingga kini dinilai masih minim kontribusinya terhadap PAD. Alih-alih menghasilkan keuntungan, kedua Perusda ini justru masih terus menerima suntikan penyertaan modal dari pemerintah daerah tanpa kejelasan arah reformasi manajemen maupun peningkatan efisiensi operasional.
PD Karya, misalnya, hingga saat ini belum menunjukkan kinerja bisnis yang layak secara finansial dan sosial. Tidak ada laporan akuntabel yang menunjukkan peningkatan laba atau ekspansi usaha yang berdampak nyata terhadap pelayanan publik maupun penguatan ekonomi lokal.
Demikian pula PDAM Tirta Sawitto, yang masih dihadapkan pada persoalan klasik seperti kebocoran air, distribusi tidak merata, dan rendahnya cakupan layanan. Ironisnya, di tengah kondisi tersebut, aliran modal dari APBD tetap berlanjut, tanpa diiringi dorongan perubahan struktural dari DPRD.
Publik pun bertanya-tanya: Mengapa DPRD tidak pernah bersuara lantang soal audit kinerja dan arah pembenahan dua Perusda ini? Mengapa tidak ada satu pun fraksi yang mendorong evaluasi menyeluruh?
Ketiadaan suara kritis dari lembaga legislatif terhadap dua institusi ini memperkuat dugaan bahwa fungsi pengawasan telah dilemahkan oleh kompromi politik, atau bahkan kehilangan daya dorong akibat pragmatisme kekuasaan.
Fungsi DPRD Ditinggalkan
DPRD seharusnya menjadi ruang utama artikulasi politik dan pengawasan kebijakan eksekutif. Namun saat fungsi ini tidak dijalankan secara maksimal, maka publik kehilangan salah satu instrumen demokrasi paling penting. Padahal, keberadaan partai oposisi dalam DPRD semestinya menjadi penyeimbang dan pengawal agar kekuasaan tidak berjalan secara sepihak dan tertutup.
Kebijakan rotasi jabatan kepala sekolah ini, misalnya, menyisakan pertanyaan besar. Apakah penempatan kembali para kepala sekolah sebagai guru murni didasari evaluasi objektif? Apakah ada mekanisme yang adil dalam prosesnya? Di sinilah seharusnya DPRD hadir memberi penjelasan dan memperjuangkan transparansi.
Minimnya kritik dari partai politik di luar koalisi pemerintahan mengindikasikan lemahnya konsolidasi oposisi di Pinrang. Kritik yang tajam dan konstruktif tak kunjung muncul, bahkan untuk isu-isu strategis yang berdampak langsung terhadap masyarakat.
Jika partai politik hanya aktif saat Pemilu dan Pilkada, namun pasif saat rakyat butuh perlindungan dari kebijakan yang semena-mena, maka fungsi representasi mereka patut dipertanyakan. Apalagi dalam isu pendidikan, di mana setiap keputusan menyangkut masa depan generasi daerah.
Masyarakat Pinrang berhak menuntut akuntabilitas dari para wakil rakyatnya. DPRD tidak boleh hanya menjadi “tukang stempel” kebijakan eksekutif. Sudah saatnya DPRD—terutama partai-partai di luar pemerintahan—menunjukkan keberpihakan pada aspirasi rakyat, bukan diam demi kenyamanan politik.
Momen seperti ini adalah ujian bagi kualitas demokrasi lokal. Ketika suara kritik dibungkam oleh kepentingan pragmatis, maka keberadaan oposisi hanya menjadi formalitas, bukan fungsi substantif.
Dalam sistem demokrasi, keberadaan partai oposisi bukan sekadar pelengkap tata kelola pemerintahan, melainkan elemen fundamental yang menjaga keseimbangan kekuasaan dan menjamin akuntabilitas kebijakan publik. Ketika oposisi melemah atau bahkan absen, demokrasi berada dalam ancaman oligarki atau kekuasaan yang tidak terkendali.
Menurut Giovanni Sartori (2005) dalam bukunya Parties and Party Systems, oposisi adalah esensi dari demokrasi modern karena ia memainkan peran pengawasan terhadap pemerintah (checks and balances). Tanpa oposisi yang kuat, kekuasaan eksekutif berisiko melahirkan keputusan yang sepihak, tidak transparan, dan cenderung menindas kelompok rentan.
Sartori menekankan bahwa dalam sistem parlementer maupun presidensial, fungsi oposisi adalah untuk:
- Mengkritisi kebijakan eksekutif.
- Menyuarakan alternatif solusi.
- Membela kelompok yang terdampak kebijakan.
- Mendorong diskusi publik yang sehat.
Di Indonesia, sistem pemerintahan daerah menganut prinsip checks and balances antara eksekutif (bupati/wali kota) dan legislatif (DPRD). Dalam konteks ini, menurut Prof. Dr. Ryaas Rasyid, pakar otonomi daerah, DPRD bukan hanya mitra kerja eksekutif, tetapi juga pengawas dan pengimbang atas seluruh kebijakan yang dikeluarkan kepala daerah.
Ryaas Rasyid dalam Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah menyebutkan:
“Jika DPRD hanya diam atau sepakat saja terhadap semua kebijakan kepala daerah, maka kita tak sedang menjalankan demokrasi, melainkan aklamasi birokratik.”
Hal ini menjadi sangat penting ketika kebijakan tersebut menyentuh sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan birokrasi. Misalnya, pemutasian kepala sekolah menjadi guru biasa tanpa penjelasan publik yang transparan, jelas memerlukan evaluasi dan klarifikasi yang seharusnya menjadi domain DPRD untuk menindaklanjutinya.
Menurut Hannah Arendt, filsuf politik, dalam sistem demokrasi, oposisi bukan sekadar pihak yang “berseberangan”, melainkan agent of accountability—wakil rakyat yang membawa suara mereka yang tidak didengar oleh penguasa.
Hal ini juga sejalan dengan pendapat Larry Diamond (2008), yang menyebut:
“Democracy requires not only elections but also institutions of horizontal accountability—like legislatures capable of opposing or checking executive abuses.”
Dengan kata lain, DPRD—melalui fraksi-fraksi partai, terutama yang bukan bagian dari koalisi pemerintah daerah—wajib menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau minimal menginisiasi rapat dengar pendapat (RDP) untuk mengevaluasi kebijakan yang kontroversial.
Ketika oposisi pasif atau terkooptasi kekuasaan, maka beberapa hal bisa terjadi seperti kebijakan bisa diskriminatif atau tidak berpihak pada kepentingan rakyat, tidak ada ruang kritik sehingga partisipasi masyarakat melemah dan Demokrasi menjadi prosedural, bukan substansial.
Kondisi ini berpotensi terjadi di Pinrang, ketika DPRD tidak menjalankan fungsi kritiknya. Tanpa suara oposisi, publik kehilangan saluran representasi untuk mempertanyakan keputusan pemerintah.
Demokrasi tanpa oposisi ibarat kapal tanpa jangkar: bisa berjalan cepat, tapi rawan oleng. Partai-partai politik, khususnya yang berada di luar lingkaran kekuasaan, harus menyadari tanggung jawab moral dan politiknya untuk menjadi pengawal suara rakyat, bukan justru larut dalam kenyamanan diam.