Oleh: Tandiesak Parinding (Demisioner Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia/Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Basse Sangtempe (HAMBASTEM 2017-2019)
Di jantung pegunungan Latimojong, Luwu, Sulawesi Selatan yang selama ini menjadi simbol keteguhan alam, sumber air, dan hutan hujan tropis yang vital bagi ekosistem Sulawesi sedang berlangsung sebuah drama senyap tapi penuh luka, mengguncang nalar dan keadilan ekologis dan sosial. Tambang emas yang dikelola oleh PT Masmindo Dwi Area (MDA) telah mengubah wajah Latimojong. Namun lebih dari itu, tambang ini tengah menyingkirkan warga, mengacak-acak tanah ulayat, dan bahkan menggali pusara para leluhur. Semuanya demi satu hal: emas.
Oligarki dan Kuasa Modal di Balik Tambang
PT Masmindo Dwi Area bukan perusahaan baru di Latimojong. Mereka telah mendapatkan Kontrak Karya sejak tahun 1998. Dalam perjalanannya, perusahaan ini mengalami amandemen izin pada 2018 dan mulai serius memasuki fase eksploitasi sejak 2023. Masmindo berafiliasi dengan jaringan kekuatan modal besar. Dalam berbagai dokumen, Masmindo sempat menjadi bagian dari grup Indika Energy yang merupakan milik dari Arsyad Rasid dan terhubung dengan perusahaan tambang asing seperti Nusantara Resources asal Australia.
Di sinilah letak persoalan utama: tambang ini tidak murni hadir untuk kesejahteraan warga lokal, melainkan untuk memenuhi ambisi segelintir elite ekonomi. Di balik nama perusahaan ini tersembunyi para pemilik modal besar, para pemain lama tambang yang memiliki kedekatan dengan elite politik nasional dan lokal. Oligarki tambang telah menancapkan kukunya di tanah Latimojong.
Kontraktor dan Dugaan Penyimpangan di Lapangan
Dalam tahap eksploitasi, PT MDA menggandeng kontraktor lokal untuk membangun jalan poros, akses tambang, dan infrastruktur pendukung lainnya. Salah satu kontraktor yang dikenal publik adalah yang disebut-sebut milik seorang pengusaha lokal bernama Robert (dimuat tabloidsar). Dugaan muncul bahwa dalam proses pembangunan jalan dan penggalian, material tambang jenis lain seperti galian C (batu dan pasir) juga diangkut dan dijual, padahal aktivitas ini diduga belum berizin.
Praktik seperti ini menunjukkan bahwa bukan hanya emas yang diambil dari perut Latimojong. Semua yang bernilai—batu, tanah, air, bahkan ruh dan identitas masyarakat adat—diubah menjadi komoditas. Sementara itu, rakyat yang lahannya digusur hanya bisa menyaksikan dengan getir.
Perampasan Tanah Ulayat dan Konflik Agraria
Tanah-tanah masyarakat adat di sekitar Latimojong menjadi korban pertama ekspansi tambang. Dengan dalih pembebasan lahan, perusahaan menguasai ribuan hektar lahan masyarakat yang selama ini dikelola secara turun-temurun. Banyak warga yang hanya memiliki bukti kepemilikan berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) sejak 1990-an, tetapi tidak diakui secara layak dalam proses ganti rugi. Bahkan, ada warga yang telah diganti rugi lahannya, namun uangnya justru dibayarkan kepada pihak ketiga yang diragukan keabsahannya.
Lebih parah lagi, dalam proses pengambilalihan lahan, perusahaan disebut-sebut melibatkan aparat bersenjata seperti Brimob dan bahkan oknum TNI, yang turun langsung dalam proses pengosongan lahan. Warga tidak diberi ruang untuk berunding, dan mereka yang menolak kerap diintimidasi.
Aliansi masyarakat adat dan tokoh hukum agraria menyebut ini sebagai bentuk nyata pelanggaran hak atas tanah dan indikasi kuat penyalahgunaan kekuasaan.
Leluhur yang Digusur Diam-diam
Namun, tragedi paling menyayat hati justru terjadi baru-baru ini. Secara diam-diam, PT Masmindo Dwi Area menggali dan memindahkan kuburan adat masyarakat Latimojong. Salah satu lokasi yang menjadi perhatian publik adalah di Desa Rantebala, di mana kuburan leluhur dari masyarakat adat Kande Api dipindahkan tanpa pemberitahuan kepada keluarga maupun tokoh adat (Parengnge).
Dalam adat masyarakat Latimojong, makam leluhur bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir. Ia adalah bagian dari identitas, sejarah, dan spiritualitas. Pemindahan kuburan tanpa izin adat adalah bentuk penghinaan terhadap seluruh komunitas. Bagi masyarakat adat, tindakan itu bukan hanya pelanggaran hak, tetapi luka spiritual yang dalam semacam pemutusan paksa hubungan manusia dengan asal-usulnya.
Warga mendesak agar pihak perusahaan meminta maaf secara terbuka dan mengembalikan proses pemindahan sesuai tata cara adat. Namun hingga kini, belum ada sikap tegas dari pihak perusahaan maupun pemerintah.
Rakyat Dapat Lumpur, Korporasi Panen Emas
Tambang emas memang memberikan pemasukan besar bagi perusahaan. PT Masmindo diprediksi mampu menghasilkan emas bernilai ratusan miliar rupiah per tahun. Namun rakyat di sekitar tambang tidak mendapatkan kesejahteraan yang sepadan.Sebagian hanya dipekerjakan sebagai buruh kasar dengan upah rendah, sebagian lain hanya menerima CSR yang tidak menyentuh kebutuhan dasar mereka. Sementara tanah telah hilang, air tercemar, hutan gundul, dan ikatan budaya mereka terkoyak.Rakyat hanya mendapatkan lumpurnya: banjir, longsor, polusi debu tambang, dan kehilangan ruang hidup.
Negara Harus Hadir dan Berpihak
Kisah di Latimojong adalah potret kecil dari persoalan besar di negeri ini: negara kerap berpihak kepada modal, bukan rakyat. Padahal, konstitusi jelas menyatakan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD 1945).
Sudah saatnya negara tidak lagi menjadi fasilitator eksploitasi, melainkan menjadi pelindung rakyat.
Tambang emas di Latimojong mestinya menjadi berkah. Namun dalam kenyataan, ia justru menjadi simbol ketimpangan: kekayaan mengalir ke atas, penderitaan merembes ke bawah. Negara harus memilih: terus menjadi pelayan korporasi, atau kembali kepada tugas sucinya—melindungi rakyat.
Karena jika negara diam, sejarah tidak akan. Dan nama Latimojong akan dikenang bukan sebagai tanah emas, tetapi sebagai tanah air mata.